Minggu, 03 September 2017

Tidak banyak keributan kok

Tentang semua keributan yang ada di dunia ini. Kehidupan yang cuma sebentar ini apa mau dibuat ribut terus? Tentu tidak bukan? Ada banyak hal yang menyenangkan yang bisa dilakukan. Ada banyak cara untuk membahagiakan orang-orang di sekitar kita dan juga yang jauh dari kita -- selain dengan dana dan derma: yaitu mengirimkan doa, memberikan maaf secara diam-diam, atau sekedar merindukan dan mengharapkan agar mereka hidup sehat sejahtera dunia akherat.

Ketika kita mendengarkan isu yang besar dan mungkin dibesar-besarkan, kita tidak terdengar bahwa ada sosok kecil di dekat kita yang lirih memohon agar kita mau mendengarkannya. Sama seperti saat aku memakaikan kaos Save Palestine ke anakku. Dia paham aja tidak dengan Palestine atau bahkan saat aku memakaikannya kaos Hezbollah. Dia aja nanya, ‘Ini gambar apa ya, Uma?’ Aku mau menjelaskannya aja males loh. Padahal partai Hezbollah itu partai Fav-ku meski di Indonesia mereka tidak punya andil apa-apa, Cuma karena suka dengan cara mereka membantai teroris berkedok Islam dan antek-anteknya, jadi suka aja dan berharap kalau mereka tahu bahwa banyak orang Indonesia yang menjadi penggemarnya.



Manusia itu punya rentang hidup yang pendek di Planet Bumi ini, jadi untuk apa sibuk membenci, sementara waktu untuk berbagi kasih saja pendeknya bukan main. Sungguh 90 tahun itu waktu yang singkat, iya kalau umur kita nyampai 90 tahun. Aku aja maunya lebih, mungkin 145 tahun dengan fisik yang mandeg menua di umur 75 tahun; jadi berharap saat umur 145 tahun, fisikku masih seperti nenek-nenek umur 75 tahun. Mengapa? Karena hidup di Bumi itu menyenangkan loh sebenernya. Ya bukannya tidak mendamba Sorga atau takut mati. Tapi kalau cukup membahagiakan dengan segala kerumitannya yang ada, mengapa tidak boleh mencintai kehidupan di Bumi? Toh ini juga anugrah, dan bukan sebuah dosa, seperti yang digambarkan mite-mite kehidupan Adam dan Hawa yang turun dari sorga ke Bumi.

Jangan salah, dulu aku juga suka ribut akan hal kecil. Semua hal dianggap menjadi beban yang berat. Tapi lambat laun, aku kok merasa seperti sedang main drama. Bisa saja kok aku tidak suka dengan scriptnya dan kuubah saja sedemikian rupa sehingga aku menyukainya dengan membuang segala hal dramatis di dalamnya. Jadi ketika menghadapi masalah yang pelik, meski sempat jatuh, aku punya harapan dan bangun kembali; dan merasa bahwa kehidupan itu ya begini nih. Selalu ada hal yang diributkan, hanya saja apa kita mau ribut terus atau tidak itu tergantung pada kita kok.

Skala kecilnya adalah menghadapi anak yang tantrum. Anak kalau sudah tantrum waduh susah diajak bicara, ada anak yang nangis ga jelas, murung, cemberut, ngambek dan macam-macam polah tantrumnya. Kalau sudah gitu biasanya ku engga sabar dan ikutan ngomel, eh anaknya makin liar ga karuan. Akhirnya sampai pada sebuah titik sadar dimana sepertinya lebih enak kalau berjalan damai saja. Aku coba menurunkan emosi dan ego dan merendahkan suara, aku tanya baik-baik dan penuh penasaran:

‘Dik kamu maunya gimana?’
‘peluk uma’
‘Udah Cuma itu aja?’
‘iya’

Kita berdua berpelukan dan semuanya baik-baik saja. 

Di lain hari aku juga tanya hal yang sama ketika tantrum. Dia jawabnya, ‘Mau pukul uma’ dan waktu aku kasih tanganku buat dipukul, dia pukul juga tanganku, tapi habis itu kita pelukan. Tantrum pun kelar. Ternyata kalau salah satunya tidak ribut, itu meredam kekacauan. Tapi kalau dua belah pihak ribut dan jawab-jawaban ga selesai, ya sudah … perang panas dan perang dingin engga kelar-kelar. Baru nanti kalau sudah adem anaknya kita kasih penjelasan, ‘Sakit juga ya dipukul, lain kali nanti minta dipeluk erat-erat saja deh.’

Skala besarnya, kalian tarik-tarik saja sendiri ke konteks masing-masing.
Renungkan sendiri untuk apa sih keributan yang berdarah-darah ini ada? 
Demi Tuhan? Makhluknya aja engga suka perang. Apalagi Tuhan. Kalau seseorang percaya bahwa Tuhan itu di luar dirinya, ya mungkin saja beda dengan pandanganku. Pandanganku, Tuhan ada dalam diri setiap makhluknya, baik itu yang makhluk hidup ataupun yang 'tidak hidup' seperti bebatuan. 

Demi Waktu! Semoga kita semua diberi umur yang bermanfaat, dan saat kita meniup lilin ataupun saat merayakan ulang tahun dengan syukuran, kita selalu ingat bahwa kegiatan yang satu bukan merupakan vice versa kegiatan yang lain, sehingga kita akan melihat perbedaan itu bukan hal yang salah, tapi lebih merupakan variasi jalan lain menuju tujuan yang sama. [ ]


Wewangian dari alam mimpi pun bisa tersimpan dalam memori kita



Ramuan minyak Sacred Mountain aku sebar ke seluruh penjuru kamar dengan alat difuser. Harum bunga kenanga, lavender dan campuran antara sage dan luban membuat tidur nyenyak dan larutlah ku ke dalam alam lain. Aku sampai di sebuah rumahku; di alam mimpi, rumahku itu tersambung dengan rumah-rumah orang banyak. Terpisah hanya dengan sebuah pintu, dan ketika ingin ada yang dibicarakan kadang kita semua bertemu di ruang tamu dan berkumpulah kita. Tapi sebelum sampai ke rumahku, aku berada di sebuah tepi pantai. Pantainya sepi dan mendung. Aku sendirian di situ. Tidak ada yang istimewa memang dari cerita mimpiku, tapi ada satu hal yang kuingat pasti dari mimpiku, yaitu aku bisa merasakan desiran angin di pantai yang begitu nyata. Saat kakiku menginjak pasir pantai, dan saat wajahku tersapu dedaunan hutan sekitar pantai. Harum dedaunan itu masih samar tercium oleh hidungku, aku masih bisa mengingatnya. Aku berjalan perlahan-lahan di balik rimbun dedaunan yang mirip daun pisang sambil mengintip deburan ombak pantai. 

Aku tidak pernah pergi ke pantai sendirian. Terima kasih sudah menghantarkanku ke sana. Siapapun Anda yang bertugas membimbing manusia saat dia terlelap dalam mimpi. [ ]

Jumat, 01 September 2017

Sebuah rumah dalam mimpiku

Kemaren sore saat ngobrol sama anak-anak, terlintas suara hujan samar-samar. Rupanya anak kedua tidak sengaja menyalakan aplikasi suara hujan di smartphoneku. Rindu sekali dengan hujan. Bahkan ketika seorang taman lama bertanya apakah semalam hujan, aku tidak sadar menjawab: 'Iya semalam hujan'

Padahal semalam langit cerah. 


Aku rindu hujan. 

Padahal tidak benar-benar berpisah karena sesekali mendung lewat mendekat dan hinggap sebentar, meski tidak mengutus hujan turun. Tak mengapa. Hampir setiap malam, aku mampir rumah yang hujan selalu turun tapi tidak banjir karena memang itu fungsi rumah cuma menenangkanku. Saat lelah seharian dan kutidur, app Suara Hujan (Rain Sound) mulai nyala, aku pun lepas ke alam mimpi, dan mampirlah di rumah hujan, meski cuma sebentar sekedar meletakkan payung ke tempatnya dan duduk di tepian jendela yang basah -- beberapa menit saja.

Entah rumah siapa yang aku kunjungi, tapi sudah menjadi default kalau ku penat dalam tidur aku langsung menuju rumah itu meski kadang aku harus lewati sederetan adegan mimpi yang melelahkan dan bertele-tele. Ketika sampai di depan kompleks di mana rumah itu berada, aku langsung melesat, berlari cepat, berlomba dengan gangguan mimpi yang bakal membuatku terjaga. Aku buru-buru masuk, melempar sepatu dan ...

... seperti biasa, ruangan bernuansa hitam, putih, abu-abu dan minimalis menyambutku; kemudian sebuah kursi dan meja kecil menghadap jendela yang dihiasi guyuran air hujan. Saat melepas lelah dan duduk di kursi, aku berharap, 'Aku bisa di sini untuk beberapa hari saja'; dan harapan menguap, mimpiku lepas, aku pun terjaga.

--- 

Hahahaha ya sudah. Sudah pagi, mari bermain lagi (^_^)